Teori Motivasi McClelland

David C. McClelland bersama asosiasinya dari Harvard University di Amerika Serikat melakukan penelitian mengenai dorongan prestasi karyawan selama 20 tahun. McClelland menekankan pentingnya kebutuhan akan prestasi, karena kebutuhan akan prestasi merupakan cadangan energi potensial yang sangat besar dan orang yang berhasil dalam bisnis dan industri adalah orang yang berhasil menyelesaikan sesuatu. Teori ini berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi diatas kemampuan orang lain. Seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain (Thoha, 2009).

Berikut akan dijelaskan lebih detail teori motivasi McClelland, mulai dari sejarah, dasar teori dan pandangan-pandangannya terhadap motivasi.

Teori Motivasi McClelland

McClelland (Notoatmodjo, 2009) mengatakan bahwa dalam diri manusia ada dua motivasi atau motif, yakni motif primer atau motif yang tidak dipelajari, dan motif sekunder (motif sosial) atau motif yang dipelajari melalui pengalaman serta interaksi dengan orang lain. Motif primer atau motif yang tidak dipelajari ini secara alamiah timbul pada manusia secara biologis. Motif ini mendorong seseorang untuk terpenuhinya kebutuhan biologisnya seperti makan, minum, seks, dan kebutuhan-kebutuhan biologis lain. Sedangkan motif sekunder adalah motif yang ditimbulkan karena dorongan dari luar akibat interaksi dengan orang lain atau interaksi sosial.

Menurut McClelland (Yuwono, 2005), individu memperoleh sejumlah kebutuhan dari budaya masyarakat yang dipelajari melalui sesuatu yang mereka alami, khususnya di masa awal kehidupan. Ada 3 (tiga) kebutuhan yang dipelajari seseorang dari lingkungan, yaitu:

A. KEBUTUHAN BERPRESTASI (NEED FOR ACHIEVEMENT)

Menurut Notoatmodjo (2009), berprestasi adalah suatu dorongan yang ada pada setiap manusia untuk mencapai hasil kegiatannya atau hasil kerjanya secara maksimal. Secara naluri setiap orang mempunyai kebutuhan untuk mengerjakan atau melakukan kegiatannya lebih baik dari sebelumnya, dan bila mungkin lebih baik dari orang lain. Kebutuhan berprestasi ini tercermin dalam dunia kerja, antara lain berani mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya, selalu mencari umpan balik terhadap keputusan atau tindakan-tindakannya yang berkaitan dengan tugas-tugasnya, selalu berusaha melaksanakan pekerjaannya atau tugasnya dengan cara-cara baru atau inovatif dan kreatif, senantiasa tidak atau belum puas terhadap setiap pencapaian kerja atau tugas, dan sebagainya.

Walandouw dkk. (1988) mendefenisikan kebutuhan akan prestasi merupakan keinginan untuk berprestasi lebih baik atau menganggap berprestasi lebih baik itu adalah penting. Ukuran keberhasilan disini didasarkan standard yang ada dalam diri individu yang dimaksud dengan keinginan berprestasi adalah apabila seseorang mengarahkan pikiran dan tingkah lakunya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik, disadari atau tidak. Keinginan yang timbul secara spontan ini akan membuat seseorang menjadi aktif, dia akan selalu mencari hal-hal yang dirasakan menantang, ingin mendapatkan umpan balik, tidak mau menerima pengarahan dari orang lain. Menurut Walandow dkk, orang yang mempunyai dorongan berprestasi yang tinggi akan memperlihatkan ciri-ciri tingkah laku sebagai berikut:

1) Bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan-perbuatannya.

2) Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru.

3) Mencari hasil penilaian dari apa yang telah dikerjakannya.

4) Memilih resiko yang sedang didalam perbuatannya.

Sedangkan Usman (2010) mendefinisikan kebutuhan berprestasi sebagai dorongan dari dalam diri untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan.

Menurut Usman, orang yang kebutuhan berprestasinya tinggi mempunyai ciri-ciri:

1) Berusaha mencari umpan balik atas segala perbuatannya, selalu bersedia mendengarkan pendapat orang lain sebagai masukan dalam memperbaiki dirinya.

2) Berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan (menantang dan terwujud) melebihi orang lain, lebih unggul, ingin menciptakan yang terbaik.

3) Berusaha melakukan sesuatu secara inovatif dan kreatif (sesuatu yang baru, sesuatu yang tiada duanya), banyak gagasan, dan mampu mewujudkan sistem yang membatasi geraknya kearah yang lebih positif.

4) Merasa dikejar-kejar waktu, pandai mengatur waktunya, yang dapat dikerjakan sekarang jangan ditunda hari esok.

5) Bekerja kerasa dan bangga atas hasil yang telah dicapai.

B. KEBUTUHAN UNTUK BERAFILIASI (NEED FOR AFFLIATION)

Kebutuhan untuk berafiliasi didefenisikan McClelland (Yuwono, 2005) sebagai suatu ketertarikan pada orang lain yang bertujuan untuk meyakinkan perasaan bahwa dirinya dapat diterimaoleh mereka. Menurut Walandouw dkk. (1988), kebutuhan untuk berafiliasi ini didefenisikan sebagai suatu keinginan bersahabat atau berada bersama orang lain. Orang yang kebutuhan untuk berafiliasinya tinggi memperlihatkan ciri-ciri tingkah laku sebagai berikut:

1) Lebih suka bersama orang lain dari pada sendirian.

2) Sering berhubungan dengan orang lain, misalnya bercakap-cakap lewat telepon.

3) Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi dalam pekerjaan daripada segi tugas-tugas yang ada pada pekerjaan itu.

4) Melakukan pekerjaannya lebih giat apabila bekerja bersama-sama dengan orang lain. Menjalin “pertemanan” atau persahabatan dengan orang lain terutama dengan peer group-nya, dalam melakukan pekerjaan atau tugas lebih mementingkan team work daripada kerja sendiri, dalam melakukan tugas atau pekerjaaan lebih merasa efektif bekerja sama dengan orang lain daripada sendiri, setiap pengambilan keputusan berhubungan dengan tugas cenderung meminta persetujuan atau kesepakatan orang lain atau kawan sekerjanya, dan sebagainya.

Sedangkan menurut Usman (2010) kebutuhan untuk berafiliasi ini didefenisikan sebagai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain atau dorongan untuk memiliki sahabat sebanyak-banyaknya. Orang yang kebutuhan berafiliasinya tinggi bercirikan sebagai berikut:

1) Lebih suka berkomunikasi dan bersama dengan orang lain.

2) Lebih mengutamakan hubungan pribadi dari pada tugas kerja.

3) Selalu bermusyawarah untuk mufakat dengan orang lain.

4) Lebih efektif apabila bekerja sama dengan orang lain.

C. KEBUTUHAN UNTUK BERKUASA (NEED FOR POWER)

Kebutuhan untuk berkuasa didefenisikan McClelland (Yuwono, 2005) sebagai kebutuhan untuk mengendalikan lingkungan, mempengaruhi perilaku orang lain dan mengambil tanggung jawab atas mereka. Menurut Walandouw dkk. (1988) ada beberapa indikasi yang menunjukkan tindakan yang bermotif kekuasaan, antara lain: melakukan tindakantindakan yang bersifat keras (misalnya menyerang), berusaha menimbulkan kesan pada orang lain (misalnya berusaha menang dalam suatu pemilihan), berusaha mengendalikan orang lain (misalnya mengatur cara tingkah laku orang lain). Selanjutnya, menurut McClelland (Walandouw, 1988) mengemukakan bahwa motivasi kekuasaan mempunyai “two faces” (dua muka), yaitu :

1. Kekuasaan Sosial (Socialized Power)

Motivasi ini muncul dalam bentuk pikiran untuk menggunakan kekuasaan demi kepentingan orang lain. Dalam hal kegiatan, orang yang memiliki kekuasaan sosial suka berorganisasi dan biasanya menjadi salah satu pengurus.

2. Kekuasaan Pribadi (Personalized Power)

Motivasi ini muncul dalam bentuk pikiran, menggunakan kekuasaan untuk menaklukkan lawan, untuk memperoleh kemenangan atas lawan, hidup ini ditandai oleh perasaan kalah menang.Dalam hal kegiatan, kekuatan pribadi ini dimanifestasikan misalnya dengan mengumpulkan barang-barang yang menunjukkan prestise, minumminuman keras secara berlebihan.

Menurut Usman (2010), kebutuhan untuk berkuasa merupakan dorongan untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk pada kehendaknya. Orang yang kebutuhann berkuasanya tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Sangat aktif menentukan arah organisasi

2) Sangat peka terhadap pengaruh antar pribadi dan kelompok

3) Mengutamakan prestise

4) Mengutaakan tugas kerja daripada hubungan pribadi

5) Suka memerintah dan mengancam dengan sanksi

Menurut Walandouw dkk. (1988), seseorang yang mempunyai dorongan kekuasaan yang tinggi akan memperlihatkan ciri-ciri tingkah laku sebagai berikut :

1) Sangat aktif dalam menentukan tujuan kegiatan dari organisasi dimana ia berada

2) Mudah tergerak oleh bentuk pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organisasi

3) Mengumpulkan barang-barang atau menjadi anggota suatu perkumpulan yang dapat mencerminkan harga diri 4) Berusaha menolong orang lain walaupun pertolongan itu tidak diminta.

Ketiga jenis kebutuhan motivasi yang melatarbelakangi seseorang ini menurut McClelland merupakan motivasi sosial yang mendasari tingkah laku individu sehari-hari, hanya saja derajat kekuatannya tidak sama. Pada satu situasi, mungkin kebutuhan akan persahabatan lebih kuat, namun pada situasi lain mungkin kebutuhan akan kekuasaan yang lebih berperan. Jadi kebutuhan mana yang lebih mendominasi seseorang untuk bertingkahlaku sangat dipengaruhi oleh situasi dimana tingkah laku tersebut akan muncul.

Motivasi merupakan salah satu aspek dari psikologi. Untuk memahami keadaan psikologis dan kepribadian lebih lengkap dapat dilakukan dengan psikotes. NS Development telah menghadirkan aplikasi psikotes online yang dapat diakses oleh siapa saja. Kunjungi https://nsd.co.id/.